:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5053689/original/089006800_1734345610-20241216-Foto_Udara_Banjir_Rob-MER_6.jpg)
Hak Kepemilikan Tanah di Perairan Pesisir: Perspektif Hukum
Polemik kepemilikan tanah di perairan pesisir kembali mencuat. Guru Besar Hukum Agraria UGM, Maria Suwardjono, menegaskan bahwa sertifikat kepemilikan seperti SHM (Sertifikat Hak Milik) dan HGB (Hak Guna Bangunan) dapat diterbitkan untuk wilayah tersebut.
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UU PA), tanah mencakup daratan yang berada di bawah kolom air. Namun, pengelolaannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Maria mencontohkan pemberian HGB kepada Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi pada 2023. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kolom air menjadi ranah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pakar Hukum Agraria UGM, Prof. Nurhasan Ismail, menambahkan bahwa SHGB juga dimungkinkan untuk pagar laut. Pasal 1 UU PA memberikan peluang tersebut.
Banyak suku di Indonesia yang membangun rumah di atas perairan pesisir. Mereka memiliki hak atas lahan yang ditempatinya. Namun, Maria mempertanyakan mengapa hal ini baru dipermasalahkan sekarang, padahal sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Prof. Nurhasan menjelaskan bahwa masyarakat di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa hingga Pantai Selatan Madura memanfaatkan pesisir untuk menopang kehidupan. Mereka mereklamasi lahan secara perlahan dengan mengacu pada hukum adat.
Negara tidak mampu menyediakan tanah bagi mereka, sehingga mereka terpaksa memanfaatkan pesisir. Hal ini menjadi alasan mengapa kepemilikan tanah di perairan pesisir menjadi penting bagi masyarakat pesisir.